TIMES KEPAHIANG, JAKARTA – Laporan World Happiness Report 2024 kembali menempatkan negara-negara Nordik di puncak daftar negara paling bahagia di dunia.

Penilaian ini didasarkan pada berbagai indikator seperti pendapatan per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan dalam mengambil keputusan, kemurahan hati, dan rendahnya tingkat korupsi.​

10 Negara Paling Bahagia di Dunia 2024

Berikut adalah sepuluh negara teratas dalam daftar World Happiness Report 2024:​

1. Finlandia – 7,74

2. Denmark – 7,58

3. Islandia – 7,53

4. Swedia – 7,34

5. Israel – 7,34

6. Belanda – 7,32

7. Norwegia – 7,30

8. Luksemburg – 7,12

9. Swiss – 7,06

10. Australia – 7,06​

Finlandia mempertahankan posisi puncaknya selama delapan tahun berturut-turut, menunjukkan konsistensi dalam kesejahteraan warganya.​

Posisi Indonesia dalam Laporan Kebahagiaan Dunia 2024

Indonesia berada di peringkat ke-83 dalam laporan tahun ini, dengan skor kebahagiaan sebesar 5,66. Posisi ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, di mana Indonesia menempati peringkat ke-80. ​

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah beberapa negara tetangga:​

• Singapura – Peringkat 30

• Filipina – Peringkat 53

• Vietnam – Peringkat 54

• Thailand – Peringkat 58

• Malaysia – Peringkat 59​

Posisi Indonesia yang lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga menunjukkan adanya tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan warganya.​

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Indonesia

Beberapa faktor yang mempengaruhi skor kebahagiaan Indonesia meliputi:​

• Pendapatan per kapita yang relatif lebih rendah.

• Dukungan sosial yang belum merata di seluruh wilayah.

• Harapan hidup sehat yang masih perlu ditingkatkan melalui akses layanan kesehatan yang lebih baik.

• Persepsi terhadap korupsi yang masih menjadi perhatian.​

Kebahagiaan Bukan Sekadar Angka

Peringkat kebahagiaan Indonesia mungkin tidak terlalu tinggi, tapi itu bisa jadi cerminan dari tekanan kehidupan modern yang kini dialami masyarakat global.

Dikutip dari BBC, Owen O'Kane, psikoterapis asal Inggris, dalam bukunya Addicted to Anxiety, menyebut bahwa budaya “selalu aktif” justru membuat orang lebih cemas dan sulit merasa bahagia.

“Selama bertahun-tahun, yang dibicarakan adalah bagaimana melakukan lebih banyak hal. Padahal, manfaat dari melakukan lebih sedikit sudah terbukti—mulai dari meditasi hingga mindfulness,” ujarnya.

Menurutnya, kecemasan telah menjadi bentuk pelarian sekaligus ilusi kontrol dalam kehidupan yang serba cepat.

Dalam konteks Indonesia, di tengah laju urbanisasi, tekanan ekonomi, dan standar sosial yang terus berubah, mungkin kita perlu mengubah sudut pandang: kebahagiaan tidak selalu berasal dari pertumbuhan atau produktivitas, melainkan dari ruang untuk bernapas, dari koneksi yang tenang dengan orang lain, dan dari kemampuan untuk hadir di saat ini.

Maka, mungkin sudah waktunya kita menata ulang makna kebahagiaan. Bukan hanya soal angka dan peringkat dunia, tapi bagaimana tiap individu menemukan ketenangan dalam dirinya—tanpa harus terus berlari.

Selain itu, di balik data dan grafik, kebahagiaan warga Indonesia sering kali lahir dari hal-hal yang tak terukur: hangatnya gotong royong, kuatnya hubungan kekeluargaan, dan ketabahan dalam menghadapi tantangan.

Indonesia juga punya potensi besar—baik dari segi budaya, sumber daya manusia, hingga kekayaan komunitas lokal—yang bisa menjadi fondasi untuk membangun kebahagiaan kolektif yang lebih kuat. (*)