TIMES KEPAHIANG, JAKARTA – Syukur adalah fondasi moral yang mengajarkan manusia untuk berterima kasih atas segala nikmat Tuhan. Dalam Islam, syukur bukan sekadar ucapan lisan, tetapi bentuk kesadaran spiritual dan sosial atas karunia yang kita terima.
Kata asy-syukr dalam bahasa Arab berarti menghargai dan berterima kasih. Dalam maknanya yang lebih luas, syukur adalah sikap yang mengakui bahwa semua nikmat baik kesehatan, rezeki, maupun kesempatan datang dari Allah SWT.
Al-Qur’an menegaskan, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih," (QS. Ibrahim: 7).
Ayat ini bukan hanya perintah untuk berterima kasih, tetapi juga petunjuk bahwa syukur memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi. Masyarakat yang pandai bersyukur akan melahirkan keberkahan dan kemakmuran kolektif.
Syukur membawa ketenangan hati. Orang yang bersyukur tidak mudah terjebak iri atau dengki. Ia fokus pada nikmat yang dimilikinya, bukan pada kekurangan yang dimiliki orang lain.
Dari sinilah muncul rasa cukup, kebahagiaan, dan keikhlasan dalam menjalani hidup. Dalam konteks sosial, sikap ini mendorong masyarakat untuk saling membantu dan menebar manfaat, bukan saling berebut atau menyalahkan.
Bersyukur juga bisa diwujudkan dalam tiga cara: dengan hati, lisan, dan perbuatan. Syukur dengan hati berarti mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT.
Syukur dengan lisan adalah memuji dan berterima kasih melalui ucapan seperti “Alhamdulillah”, sementara syukur dengan perbuatan berarti menggunakan nikmat untuk hal-hal yang bermanfaat.
Orang yang diberi harta, misalnya, menyalurkan sebagian untuk membantu sesama. Mereka yang diberi ilmu, mengajarkannya kembali. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Saba: 13, “Beramallah, hai keluarga Daud, sebagai tanda syukur kepada Allah.”
Dari nilai spiritual ini, sesungguhnya kita bisa memahami makna kemakmuran. Dalam bahasa ekonomi, kemakmuran adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan hidup secara layak dan berkeadilan.
Dalam pandangan konstitusional, cita-cita kemakmuran tertuang jelas dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam Indonesia harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun untuk mewujudkan kemakmuran itu, negara memerlukan sumber pendanaan yang kuat dan berkelanjutan. Di sinilah peran pajak menjadi penting. Pajak bukan sekadar kewajiban formal warga negara, tetapi bentuk rasa syukur kolektif atas nikmat kemerdekaan, keamanan, dan kesempatan hidup yang diberikan. Pajak adalah gotong royong modern kontribusi nyata warga kepada negara agar roda pembangunan tetap berputar.
Sayangnya, sebagian masyarakat masih melihat pajak dengan kacamata negatif sebagai beban, bukan bagian dari ibadah sosial. Padahal, ketika pajak dikelola dengan baik dan digunakan secara amanah, manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat: dari jalan dan jembatan yang menghubungkan daerah, pendidikan yang mencerdaskan generasi muda, hingga pelayanan kesehatan yang menjaga kualitas hidup bangsa.
Pajak yang kuat mencerminkan warga yang bersyukur dan bertanggung jawab. Kesadaran pajak bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi cerminan moralitas sosial. Sebagaimana bersyukur mendatangkan tambahan nikmat bagi individu, kesadaran pajak mendatangkan kemakmuran bagi negeri.
Maka, membayar pajak sejatinya adalah wujud rasa syukur. Ia menjadi amal sosial yang menghidupkan semangat kebersamaan dan memperkuat kemandirian bangsa.
Jika setiap warga negara mau menunaikan kewajiban perpajakannya dengan ikhlas, kita tak hanya sedang menyetor rupiah kepada negara, tetapi juga sedang menanam benih keberkahan bagi masa depan Indonesia.
Pajak bukan hanya angka di lembar pelaporan, tetapi juga nilai moral simbol dari kepedulian dan rasa syukur yang menumbuhkan keadilan ekonomi. Karena itu, kesadaran pajak harus tumbuh dari keyakinan, bukan semata paksaan. Ketika masyarakat sadar bahwa pajak adalah bagian dari ibadah sosial, maka negeri ini akan tumbuh lebih kuat, berdaulat, dan makmur.
Mari, kita tunaikan kewajiban perpajakan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT dan cinta kepada tanah air. Karena negeri yang makmur lahir dari rakyat yang tahu berterima kasih bukan hanya dengan kata, tapi dengan tindakan nyata.
Pajak Kuat, APBN Sehat, Indonesia Sejahtera. Pajak Tangguh, Indonesia Tumbuh.
***
*) Oleh : Waluyo, S.E., M.E., Praktisi Perpajakan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pajak dengan Syukur, Negeri Menjadi Makmur
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |